Kenapa lebih memeilih marah dan cekcok jika tawa dan kasih sayang itu lebih indah?

Kali ini aku ingin bercerita sebuah kisah nyata dari orang yang sudah ku kenal dekat. Cerita tentang perasaan yang mengganjal di hatinya, yang tak akan pernah bisa terlontarkan.

Kenapa lebih memilih marah jika tawa itu lebih indah?
Kenapa lebih memilih cekcok jika itu akan membuat kita jauh?
Kenpa gengsi untuk melontarkan maaf dan sayang padahal itu bisa membuat kita semakin dekat?

Dia, seorang anak yang terlahir di keluarga yang harmonis, tapi pada hakekatnya belum sangat harmonis. Diantara mereka anggota keluarga masih terdapat dinding transparan yang memisahkan. Padahal mereka saling tau, saling melihat, tapi seolah-olah tidak melihatnya,

Kata orang, cekcok dalam rumah tangga itu ibarat "bumbu" pelengkap. Tapi menurutku itu bukanlah pelengkap, tapi malah pemisah. Kenapa harus membeli "bumbu" itu padahal mereka tau rasanya tak enak?

Dulu, dulu sekali, saat dia masih kecil, dia sering mendengar ucapan tak enak, dimana kedua belah pihak (re:orangtua) berantem, kadang hanya dengan masalah sepele. Saat itu dia tak bisa banyak bicara, dia hanya mendengar, bertingkah lebih hati-hati, karena jika salah sedikit saja, yaa kemarahan juga akan terlontar kepadanya. Sebagai anak dia hanya bersikap diam, tak berani bicara banyak, mengatakan perasaan yang sesungguhnya.

Semakin hari anak ini semakin tumbuh dewasa. Dikala remaja, cekcok yang dulunya ada tak lagi terdengar. Sungguh keadaan yang sudah lama dinantikan. Kehidupan keluarga yang semakin membaik ditambah lagi karena ekonomi yang juga membaik.

Tapi masih ada sesekali keadaan tidak enak itu datang, tapi tak berlangsung lama dan menakutkan. Ini lebih permasalahan dia dengan ibunya. Dari kecil dia adalah anak yang berprestasi, tak jarang kedua orangtuanya menaruh harapan besar kepadanya. Tapi terkadang dia merasa, harapan itu malah membuatnya takut dan memikul beban yang semakin hari semakin berat, tak berani melangkah jauh karena takut salah, salah yang berujunag pada kemarahan.

Setiap saat dia dituntut untuk menjadi yang terdepan. Tuntutan? Yaa kali ini hal itu menjadi tuntutan, bukan hanya sekedar harapan lagi. Disaat semua tak sesuai dengan harapan dia si pengharap, itu bisa menjadi bencana buruk baginya. Merusak segalanya.

Dia punya ketakutan dengan nilai. Aneh bukan? Disaat teman-temannya berkata bahwa nilai itu bukan apa-apa, disaat orang lain berkata bahwa nilai tinggi, juara bukanlah sebuah keharusan untuk anak mereka, disaat itulah bathinnya berkata, "kapan orangtua ku seperti ini?".

Sampai kapan keadaan ini tetap awet?
Apa mereka tak mengingat anak-anak mereka?
Ini sangat berpengaruh untuk si anak. Sampai kapanpun kejadian itu tak akan pernah hilang dalam ingatan mereka, Sampai kapanpun pasti ada sedikit ingatan yang tetap tertancap di otaknya.

Dan satu lagi, jangan sampai dengan kejadian ini si anak malah bersikap yang tidak semestinya.

Naik dan Turun Gunung Pilatus dengan Total Waktu 13 Jam

Sejak SMA aku suka "pergi ke alam". Entah itu pergi ke gunung, goa atau hanya sekadar menginap di hutan. Tergabung dalam ekskul ...